Selamat Membaca serampung Tilawah
TESADUF DEGILDIR (INCOINCIDENCE)
Oleh: Fatimah Azzahra [Bursa]
“Jadi yavrum… (bahasa Turki: memanggil anak, bahasa Indonesia “nak”), saya dipertemukan dengan kamu juga ada tali hubung sebab akibat”, kata Hatice Abla. Seorang kenalan baru saya, seorang aktivis sosial yang fokus pada pemberdayaan para orphan (yatim piatu) dan wanita-wanita lanjut usia.
Hari itu saya mengantar kepulangan sahabat 9 bulan, pulang ke Indonesia, setelahnya saya kembali ke rumah Hatice Abla untuk berpamitan, tepat ketika mobil kami parkir, mobil lain menyusul di belakang. Rupanya itu adalah rombongan sahabat karib suami Hatice abla yang baru saya kenal ini. Saya ikut menyambut seluruh isi mobil yang keluar, wanita-wanita berjilbab yang tidak lain adalah anak, istri dan ibu si tamu. Tamu yang saya maksud adalah bapak berkumis tebal yang menurut cerita abla adalah guru besar di jurusan keagamaan salah satu universitas di Denizli, Izmir.
Apartemen keluarga Hacite abla adalah apartemen yang unik karena disebelahnya adalah lembaga kursus Quran yang dikelola Hatice Abla. Saya serta merta menyatakan ingin kembali bertamu ke rumahnya dan mencoba program Quran disana. Memasuki apartemen yang sederhana namun sejuk itu saya kembali menyalami satu-satu tamu abla. Wanita yang saya salami paling akhir adalah anak guru besar Denizli, wanita cantik bermata bulat dengan hidung agak congkak. Saya berpelukan dengannya, dan saya menyadari kami sama-sama berbaju atasan dan rok hitam serta jilbab polkadot ungu.
“Nama kamu siapa?”, katanya ketika tangan saya menjabat tangannya sekali lagi.
“Fatimah”, jawab saya singkat, “Kamu?”
“Fatimah Azzahra”, katanya.
“Iya nama panjang saya Fatimah Azzahra”, kataku membenarkan tebakkannya.
“Bukan, maksud saya, nama kita sama, nama saya juga Fatimah Zehra”, sambil tersenyum membuat saya menyadari mata Fatimah lentik sekali. “Umur kamu berapa Fatimah?”, katanya lagi.
“Jangan-jangan samaan, ayo jawab bareng”, saya menawarkan opsi.
“Dua puluh tiga”, jawab kami serempak.
Ini sekali lagi bukan tesaduf (kebetulan). Darinya obrolan lebih lanjut saya mendeskripsikan Fatimah memang sebrilian ayahnya yang guru besar. Dia adalah seorang hafidzah yang menyelesaikan hapalan Qur’annya dalam dua tahun di Lembaga Tahfidz Quran di Istanbul, dia adalah satu-satunya hafidzah yang lulus tepat waktu, begitulah penjelasan ibundanya dengan mata-berbinar-binar bangga.
Abla yang sejak tadi sibuk menuangkan kopi Turki dan sajian lain menyambung obrolan kami. “Benarkan Fatimah, tidak ada sesuatu hal di dunia ini yang keluar dari rencana Allah. Tadi pagi kamu bilang ingin sekali menjadi hafidzah, ingin sekali main kesini lagi untuk ikut program Quran di sebelah. Sekarang, lihat, kamu bertemu dengan hafidzah tulen dengan nama kembar”.
Fatimah hafidzah tersenyum, bertanya, “hapalannya sudah seberapa jauh?”, lalu aku tersenyum miris. Rupanya Allah mempertemukan saya dengan Abla dan tamu-tamunya, agar saya bisa bertemu Fatimah lain yang berbeda—benar-benar berbeda, Fatimah si penghapal Qur’an.
Sebelum berpisah saya masih sempat menggengam erat tangan Fatimah, pun begitu dengan Fatimah, lalu dengan izin Allah hari itu saya mendapat tabungan doa dari seorang hafidzah, “Fatimah, semoga mimpi menjadi salah satu yang persisten menghapal Qur’an segera terkabul, semoga kita bertemu lagi ya”. Saya melambaikan tangan sebelum akhirnya kaca mobilnya tertutup rapat dan berlalu.
Sebagaimana jatuhnya daun dalam diam tak bersuara, yang mengajarkan kita tentang proses waktu yang bergulir cepat—tunas hijau, daun hijau penuh kehidupan hingga akhirnya kering dan gugur. Seberapa banyak waktu kita yang produktif bergesa menuju kebaikan-kebaikan. Allah kadang kala memberi pelajaran kepada kita dengan kejadian halus, nyata dan sesuai kebutuhan kita. Di hari terakhir Sya’ban itu, Allah dengan (tidak) kebetulan mempertemukan saya dengan ahli Quran, menyentuh hati saya di momen awal memasuki Ramadhan untuk bergesa memperbaiki interaksi dengan Quran—obat dari segala penyakit hati.
Ramadhan ini, apa kabar Quran mu?
Begitu adzan maghrib berkumandang memasuki Ramadhan, maka nilai waktunya sudah jauh berbeda. Mari jadikan Ramadhan tahun ini lebih baik dibanding Ramadhan kita sebelum ini. Luruskan niat, kuatkan tekad, tingkatkan kesungguhan, raih ampunan dan gapai derajat taqwa (Pak Banu Muhammad).
Tulisan disusun oleh Tim “Penakluk sejarah”
LKS Mit-ers [miturki.wordpress.com]
Hak Cipta : Tim Penakluk Sejarah LKS Mit-ers
Sumber Foto : Google.com