Nurul Asmi Amalia

Ikan Salmon itu kini ke Turki

Oleh : Nurul Asmi Amalia

Physics Engineering/ S-1 Hacettepe University

salmon_1

“Mau tak mau, kita harus seperti ikan salmon. Tidak takut pindah dan berani berjuang untuk mewujudkan harapannya. Bahkan, rela mati di tengah jalan demi mendapatkan apa yang diinginkannya.”

Kutipan tersebut terdapat dalam buku “Manusia Setengah Salmon”, karya penulis beken Raditya Dika. Buku ini sempat aku baca untuk menepis kebosanan menunggu hari hari keberangkatanku ke Turki beberapa bulan yang lalu namun kata kata itu masih melekat kuat di pikiran dan terukir di dadaku.

Dalam bukunya, Raditya Dika mengibaratkan perpindahan itu dengan perjuangan seorang ikan salmon. Setiap tahunnya ikan salmon bermigrasi, melawan arus sungai, berkilometer jauhnya hanya untuk bertelur. Di tengah berenang, banyak yang mati kelelahan. Banyak pula yang menjadi santapan beruang yang menunggu di darah dangkal. Namun walau apapun yang kan terjadi salmon-salmon itu tetap pindah tidak menetap.

Setiap insan yang bernyawa secara sadar maupun tidak terus mengalami perpindahan. Lihat saja, sejak kita dilahirkan kita pindah dari rahim ibu kita ke dunia nyata, lalu kita berpindah dari bayi menuju balita, remaja, dewasa, orang tua. Waktu pun terus berjalan tanpa kita bisa menyuruhnya berhenti hingga sampai akhirnya nanti kita akan berpindah dari dunia ini menuju alam lain yang kekal, alam akhirat.

Penanggalan kalender Hijriah atau kalender Islam menjadikan momen hijrah atau pindah sebagai pertanda awal tahun, yakni bulan Muharam. Saat itu Nabi Muhammad SAW dan Para Sahabat melakukan momen perpindahan dari Makkah menuju Madinah, meninggalkan kerabat yang dicintainya demi tegaknya syariat Islam di bumi Madinah. Dan apa hasilnya jumlah pemeluk Islam terus bertambah dan Islam semakin merasuki dalam setiap sendi kehidupan masyarakat Arab.

Seperti halnya ikan salmon, aku juga tengah menjalani perpindahan habitat hidup. Dari negeri 2 musim ke negeri 4 musim, dari negerinya Hamka, Chairil Anwar, ke negerinya Yunus Emre. Dari negeri tempat Masjid Raya Baiturrahman sebagai saksinya kedahsyatan Tsunami Aceh dan Nias, Desember 2004 silam, ke negeri tempat Aya Sofia sebagai saksinya penaklukan Konstantinopel oleh Fatih Sultan Mehmet pada 1453 M. Dari sebuah kota kecil paling barat INDONESIA, Aceh ke Ibukota negara TURKI, Ankara.

Kuliah di luar negeri…

Apa yang pertama terbayang di pikiran kalian ketika mendengar kata kata itu?

Pasti Keren, pasti bahasa Inggrisnya jago, pasti uangnya banyak, pasti teman temannya bule-bule semua… berbagai macam pendapat orang terlontar dan mendarat di telingaku.

Tak pernah terbesit di benakku untuk kuliah di luar negeri. Untuk ke luar pulau dan provinsipun ogah, apalagi keluar batas negara, samudera dan benua. Tapi semuanya masih seperti mimpi, semuanya berjalan begitu saja dan aku tak bisa menghentikannya. Semua episode dalam hidupku ini berkesinambungan dan tak putus.

Ketika aku berada di kelas 12, aku sudah mempunyai target apa yang akan aku lakuin dan apa yang akan aku raih selama aku berada di bangku kuliah nantinya. Dan semua targetku itu telah tersusun rapi dan tertulis buku diaryku. Buku diaryku bukan saja sebagai tempat menuliskan peristiwa dan kejadian yang aku alami setiap harinya, melainkan juga tempat di mana aku mengukir impian, harapan, cita, dan asa.

Tahun ini aku nggak mau ke mana2 dulu. Aku mau tetap di tanah kelahiranku, Aceh. Tahun ini pertama dibukanya jurusan Tekhnik Pertambangan di UNSYIAH. Aku akan masuk jurusan itu. Sambil kuliah aku akan mendaftar untuk jadi guru les di beberapa tempat les terkenal di daerahku seperti BIMBEL ALUMNI dan SSC, jadi asisten dosen, lulus dengan predikat Cumlaude. dan IPK 3,99. Baru selasai kuliah S1 cari beasiswa untuk S2 di luar negeri.

Namun semua tulisan itu kini hanya tinggal sejarah. Apakah kan ada seseorang yang lain yang akan melengkapinya? Yang pastinya BUKAN aku.

Ketika aku sedang menikmati tahun terakhirku di bangku sekolah, aku membaca sesuatu yang membuat semua mimpi mimpiku terdahulu tertunda.

 “ Everyone can go abroad but not everyone can study abroad”.

Sejenak aku berpikir makna dari kata kata tersebut. Iya ya, semua orang pasti bisa keluar negeri, apa lagi orang dengan berpenghasilan tinggi. Semuanya gampang, asal ada uang. Tapi apa semua orang bisa belajar di luar negeri? Belajar di luar negeri, bukan hanya sekedar pergi kuliah,nyelesain tugas dan projek akhir, dan lulus dengan pradiket BACHELOR OF…

BUKAN !!! belajar di luar negeri lebih dari itu, bagaimana kamu bersosialisasi dengan orang yang berbeda latar belakang, budaya, adat, agama, dan pendapat. Bukan saja dengan makhluk hidup, lebih dari itu. Yang paling sederhana makanan, suhu dan cuaca, dan tak luput juga keuangan.”

Dan aku memutuskan untuk berhijrah ke luar negeri….

Ada beberapa alasan mengapa aku memilih Turki sebagai negara tujuan hijrahku. Alasan yang paling utama karena link dari SMAku. Dan semuanya juga berpikir, dengan adanya link akan mempermudah segala proses. Aku lulusan angkatan pertama dari SMA TEUKU NYAK ARIEF FATIH BILINGUAL BOARDING SCHOOL Banda Aceh. Sebuah sekolah kerja sama negara Indonesia dan Turki. Dan di samping itu aku masih menyimpan mimpi untuk menunaikan Shalat di BLUE MOSQUE, masjid yang menjadi primadonanya Turki dan dunia Islam.

Menjelang akhir tahunku di kelas 12, selain mengikuti kelas persiapan untuk mengikuti Ujian Nasional, aku juga sibuk mempersiapkan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk kuliah di Turki.

Tanggal 4 Agustus 2012 adalah  hijrah pertama dalam hidupku di mulai. Sabtu itu tangis haru pecah mengiringi keberangkatan kami ke Jakarta di Bandara Internasional Sultan Iskandar muda Banda Aceh. Keesokan harinya, Minggu 5 Agustus 2012 kami menuju ke Bandara Internasional Soekarno Hatta. Kami menggunakan maskapai udara Malaysian Airways. Suasana bulan Ramadhanpun  membuatku enggan untuk berpisah dengan keluarga dan teman-teman. Kenapa tidak setelah lebaran Idul Fitri saja ? Hatiku menjerit. Tapi bukankah cepat atau lambat perpisahan itu juga akan terjadi ? Hanya menunggu tanggalnya saja kapan skenario itu akan dimainkan.

Di pesawat, aku menghabiskan waktu dengan menonton. Aku lupa berapa jumlah film yang aku habiskan. Dan aku terlelap sebentar. Hingga sebuah pengumuman kudengar bahwa sebentar lagi kami akan mendarat di Bandara Internasional Atatürk, Istanbul, Turki. Aku berdesis. Aku mengambil diaryku dan membuka lembaran baru.

 6 Agustus 2012, TURKEY, I’m coming….

Hanya dengan menulis tiga patah kata itu sudah membuat telaga di bagian bawah mataku. Aku berusaha tuk membendung namun aku tak kuasa. Butiran bening itu jatuh satu persatu ke atas lembaran diaryku.

Ketika pertama menginjakkan kaki di Turki, kami disambut oleh musim panas yang menyengat di daratan Eropa. Panasnya tak tanggung-tanggung, di siang hari bisa mencapai 40 derajat Celcius, dengan panjang hari 16 jam. Ketika itu adalah bulan Ramadhan, wajib bagi umat Muslim untuk menunaikan rukun Islam yang ketiga yaitu berpuasa. Berpuasa bukan hanya menahan dari lapar dan dahaga namun menjaga seluruh anggota tubuh dari hal hal yang dapat membatalkannya. Terlebih hati dan pikiran. Ini merupakan tantangan tersendiri untuk berpuasa di musim panas yang panjang ini. Tetapi bukan kah tubuh tidak dapat bertahan tanpa asupan cairan maksimal 10 jam lamanya? Ini lah kekuasan Allah SWT bagi orang orang yang berpuasa.

Ketika berpuasa bukan saja lapar dan dahaga yang harus ditahan, namun terlebih hati. Ketika hari hari pertama di Turki, aku mengalami home sick, masalah besar buat para perantau. Terutama yg merantaunya belasan ribu kilometer jauhnya kayak  aku dan beberapa pelajar lain di luar negri, yang gak bisa seenaknya pulang tiap liburan atau bahkan seminggu sekali.

Di awal keberangkatan ke Turki, semua perasaan  bercampur aduk, antara takut dengan apa yang akan dihadapi di sana, bagaimana berinteraksi dan beradaptasi dengan orangnya, kulturnya, cuacanya? Takut  bagaimana hidup sendiri tanpa orang tua. Namun, dibalik rasa takut ada perasaan yang lebih besar. Yaitu excited. Siapa coba yang nggak bakal excited melihat Eropa, belajar di sana, hidup di sana untuk mewujudkan mimpi. Saat pertama datang, perasaan EXCITED mengalahkan perasaan yang lain. Jadi waktu itu perasaan masih bisa dikontrol.

Nah, masalah baru muncul setelahnya, ketika alam bawah sadar saat tidur mengalahkan perasaan yang lain. Seminggu berturut-turut mimpi pulang ke rumah dan kenangan masa lalu yang seolah olah pergi meninggalkanku, berujung pada tangisan tengah malam yang aku sendiri bahkan tidak sadar kalau aku menangis, tiba-tiba mata sudah basah ketika bangun.

Selanjutnya, aku mulai merasa nyaman tinggal Istanbul. Dengan teman-teman yang super baik dan sangat membantu, juga menceriakan suasana, yang bahkan bikin lupa kalau aku kangen rumah. Dan kini menemukan rumah kedua. Namun  yang paling sederhana ketika aku merasa sendiri, home sick feeling kembali menghantui. Kembali aku mulai menangis, nggak akan ada orang yang bisa bersama kamu setiap saat, bahkan orang tua kamu sekali pun, walaupun kadang orang tua lah, terutama mama, orang pertama yang menanggapi dan mengemukakan solusi, juga menenangkan hati. Tapi terkadang, nggak bisa, waktunya gak pas. Karena antara Aceh dan Turki terdapat perbedaan waktu yang signifikan. Lalu siapa? nggak mungkin mengandalkan diri sendiri!! Manusia terlalu lemah.. Lalu? Allah, Tuhan…sangat sederhana. Wudhu, sujud, berdoa, baca Qur’an. Hati menjadi tenang. Bukankah hanya dengan mengingatNYA hati kan menjadi tenang?

Hidup merantau jauh dari tanah air, jauh dari orang tua, karib kerabat, adalah jauh dari kenyamanan. Keluar dari zona nyaman itu meyakitkan, kamu akan jatuh, namun kamu akan bangkit lagi. Dengan inilah  yang membuatmu menjadi berkembang. Perasaan sakit itulah yang membuat kamu tumbuh, dan kesalahan itulah yang membuat kamu tau dan belajar dari kesalahan.. Zona tidak nyaman ini membuat aku belajar untuk bersabar dan bersyukur. Bersabar karena tau hal-hal tidak menyenangkan, musibah  pasti akan berakhir diikuti dengan kemudahan (Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudadahan – Q.S Al-Insyirah)

Jadi, sabar… Bahkan ketika kamu gak punya siapa-siapa kecuali Allah. Cukuplah Allah bagiku. Merasa sedih sesaat itu wajar, yang terpenting tetap fokus pada tujuan utama: Meraih ilmu sebanyak-banyaknya, dan yakin, bahwa seluruh hal yang dialami, perasaan sakit, sedih, itu bukan hal yang buruk, justru seluruhnya akan membentuk pribadi yang kuat dan sungguh, setelah semuanya selesai, kamu akan sangat bersyukur akan hal tersebut, dan tentunya merasa percaya diri dan berharga. Bukankah kita telah menganggap itu adalah masa sulit dan kita telah berhasil melewatinya. Bukankah itu hal yang luar biasa, teman?

Setelah aku pahami dan renungi dari berbagai peristiwa hijrah yang aku lakoni sendiri, ternyata memang benar bahwa esensi hidup itu adalah PERPINDAHAN seperti kehidupan ikan salmon yang selalu berpindah- pindah. Sekarang aku sadari maupun tidak, banyak sekali peristiwa perpindahan dalam kehidupanku, baik aku yang berpindah maupun orang- orang sekitarku yang pindah.

Dan aku harus bisa terima dan segera move on dari situasi ini, aku harus sadar kalau hidup itu enggak statis hidup itu dinamis, kamu akan tertinggal kalau tetap di tempat dan tidak berpindah.

Don’t be afraid to move on, you may lose something good but you may gain something even better.

Leave a comment